Hipotesis Analisis Kontrastif


A. Pendahuluan
Analisis kontrastif adalah analisis yang biasa digunakan dalam pengajaran bahasa asing maupun bahasa kedua. Analisis ini penting untuk diketahui oleh tenaga pengajar bahasa Indonesia sebab bagi sebagian pelajar, bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua.

Analisis kontrastif merupakan analisis kesalahan berbahasa yang dipengaruhi oleh paham behavioris, yaitu paham psikologi yang beranggapan bahwa tingkah laku dipengaruhi oleh kebiasaan dan kesalahan. Secara spesifik, analisis ini berpendapat bahwa kesalahan berbahasa disebabkan oleh suatu transfer negative. Artinya, pemakai bahasa asing atau bahasa kedua menggunakan aturan yang berlaku dalam bahasa pertama ke dalam bahasa kedua, padahal aturannya berbeda. Menurut Tarigan & Tarigan (1990:23) kesalahan berbahasa tersebut dapat dihilangkan dengan cara menanamkan kebiasaan bahasa kedua melalui latihan, pengulangan, dan penguatan (hukuman dan hadiah).

Sebagai prosedur kerja, analisis kontrastif adalah aktivitas atau kegiatan yang mencoba membandingkan struktur bahasa pertama dengan struktur bahasa kedua untuk mengidentifikasi perbedaan-perbedaan di antara kedua bahasa. Perbedaan antara dua bahasa yang diperoleh melalui analisis kontrastif, dapat digunakan sebagai landasan dalam meramalkan atau memprediksi kesulitan-kesulitan belajar bahasa yang akan dihadapi para siswa di sekolah, terlebih-lebih dalam belajar bahasa kedua (Tarigan & Tarigan, 1990: 23). Senada dengan pendapat di atas, Diah mengemukakan bahawa analisis kontrastif adalah metode yang digunakan untuk membandingkan dan mempertentangkan dua bahasa atau lebih (bahasa pertama dan bahasa kedua/asing) atas dasar deskripsi ilmiah dari kedua bahasa tersebut untuk mengetahui sejauh mana terdapat kesamaan dan perbedaan antara keduanya (Diah, tt:1). 

B. Hipotesis Analisis Kontrastif dan Asumsi yang Mendasarinya

Hipotesis Analisis Kontrastif muncul sebab para ahli berusaha memperkirakan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh para pelajar dalam mempelajari bahasa kedua (B2). Hipotesis yang muncul kemudian mengkristal menjadi dua kubu, yaitu kubu garis keras dan kubu garis lunak.

Hipotesis garis keras beranggapan bahwa semua kesalahan dalam B2 dapat diramalkan dengan mengidentifikasi perbedaan anatara B1 dan B2 yang dipelajari oleh para siswa (Ellis dalam Tarigan & Tarigan, 1990: 24). Sebaliknya hipotesis garis lunak beranggapan bahwa Analisis Kontrastif hanyalah bersifat diagnostik belaka.

Hipotesis garis keras di atas didasarkan kepada asumsi-asumsi sebagai berikut.
  1. Bahwa penyebab utama atau bahkan satu-satunya penyebab, dari kesukaran dan kesalahan dalam belajar bahasa asing adalah interferensi dari bahasa pertama si pembelajar; 
  2. Bahwa kesukaran terutama, atau secara keseluruhan, disebabkan oleh adanya perbedaan antara kedua bahasa; 
  3. Bahwa semakin besar perbedaan tersebut akan semakin besar kesukaran belajar yang dialami; 
  4. Bahwa hasil perbendingan antara kedua bahasa dimaksud diperlukan untuk memperkirakan kesukaran-kesukaran serta kesalahan-kesalahan apa yang dialami dalam belajar bahasa asing tersebut; 
  5. Bahwa apa-apa yang akan diajarkan itu sebaiknya diperoleh melalui perbandingan kedua bahasa dan kemudian dipisahkan mana unsur-unsur yang sama, sehingga apa yang harus dipelajari oleh si pembelajar adalah kesemua unsur-unsur yang berbeda yang diperoleh dari Analisis Kontrastif (Diah, tt: 3). 

C. Tingkat Kesulitan dalam Mempelajari Bahasa Asing/Bahasa Kedua

Berdasarkan lima asumsi di atas, analisis kontrastif (ankon) garis keras menyatakan bahwa kesalaham si pembelajar bahasa asing/B2 dapat diprediksi dari besar kecilnya perbedaan antara B1 dan B2. Artinya, jika struktur B1 berbeda dengan struktur B2, maka kesalahan akibat pengaruh B1 (interferensi) akan terjadi. Proses ini disebut transfer yang bersifat negatif. Sebaliknya, jika struktur B1 dan B2 sama akan terjadi transfer yang bersifat positif. Si pembelajar di prediksi tidak akan mengalami kesulitan dalam mempelajari B2.

Berdasarkan perbedaan dan persamaan antara B1 dan B2, para ahli kemudian mengidentifikasi tingkat kesulitan yang dihadapi oleh si pembelajar dalam mempelajari bahasa asing/B2. Clifford Prator mengidentifikasi enam tingkat kesulitan tersebut, yaitu:
  
1. Tingkat Nol
Pada tingkat ini tidak terdapat perbedaan atau kontras antara bahasa pertamaq dan bahasa kedua. Si pembelajar cukup membawa alih (positive transfer) bunyi, struktur, atau butir leksikal dari bahasa pertama ke bahasa kedua. Transfer seperti ini tidak menimbulkan kesulitan aapapun, seperti label yang diberikan terhadapnya, yakni tingkat kesulitan nol. Contoh-contoh dalam bahasa Inggris dan bahasa Spanyol misalnya mencakup bunyi-bunyi vokal utama, bunyi-bunyi konsonan seperti /s/, /z/, /m/, /n/, urutan kata dalam kalimat pada umumnya, atau kata-kata cognate (yang asal usulnya sama) seperti mortal, intelegente, dan americanos.

2. Tingkat Pertama (coalescence)

Pada tingkat ini dua unsur dalam bahasa pertama menyatu menjadi satu unsur dalam bahasa kedua. Si pembelajar diharapkan akan melupakan kebiasaannya untuk membedakan kedua unsur yang terdapat dalam bahasa pertama. Sebagai contoh,  kata ganti orang ketiga tunggal untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan (his/her) dalam bahasa Inggris yang dalam bahasa Spanyol tidak terdapat perbedaan tersebut. Untuk kedua kata ganti itu hanya ada satu kata ganti, yaitu /su/ dalam bahasa Spanyol. Dalam bidang fonologi misalnya, dapat diambil contoh dari bahasa Inggris sebagai bahasa pertama dan bahasa Jepang sebagai bahasa kedua. Dalam bahasa Inggris, bunyi / r / dan / l / adalah dua fonem yang berbeda, sedangkan dalam bahasa Jepang, kedua fonem itu mnenjadi satu, yaitu / r /.

3. Tingkat Kedua (underdifferentiation)
Pada tingkat ini, untuk butir yang terdapat dalam bahasa pertama tidak menemui padanannya dalam bahasa kedua. Justru itu, kesulitannya terletak pada upaya yang harus dilakukan oleh si pembelajar untuk melupakan butir tersebut ketika ia mempelajari bahasa kedua. Salah satu contohnya adalah bahasa Inggris sebagai bahasa pertama dan bahasa Spanyol sebagai bahasa kedua. Dalam bahasa Inggris terdapat kata bantu do sebagai penanda tenses, kata ganti penunjuk tak tentu (other, certain), bentuk posesif dari kata tanya (whose), atau penggunaan kata some di muka kata benda dalam bahasa Spanyol tidak terdapat padanannya.
4. Tingkat Ketiga (reinterpretation)
Pada tingkat ini, sebuah butir yang terdapat dalam bahasa pertama diberikan interpretasi baru dalam bahasa kedua. Sebagai contoh, dalam bahasa Inggris, kata tugas a dan an dalam kalimat seperti ”He is a philosopher” adalah unsure wajib, sedangkan dalan bahasa Spanyol adalah unsure pilihan seperti dalam kalimat ”El us (un) filosofo”.

5. Tingkat Keempat (overdifferentiation)

Pada tingkat ini, terdapat suatu unsur dalam bahasa kedua yang benar-benar baru dan tidak memiliki kesamaan sama sekali dengan unsur dalam bahasa pertama. Kesulitannya terletak pada upaya mempelajari sesuatu yang benar-benar baru. Sebagai contoh, bahasa Inggris sebagai bahasa pertama dan bahasa Spanyol sebagai bahasa kedua. Dalam bahasa Spanyol untuk menyatakan generalized nominals (nominal dalam bentuk tak tentu) dalam suatu kalimat diperlukan determiner  / e l  seperti ”El hombre es mortal”  dan unsur se yang mendahului kata kerja intransitif untuk subjek kalimat yang indifinite (tak tentu) seperti dalam ”Se come bien aqui”, sedangkan dalam bahasa Inggris hal tersebut tidak ditemui.

6. Tingkat Kelima (split)

Satu unsur dalam bahasa pertama menjaqdi dua unsur atau lebih dalam bahasa kedua. Split ini merupakan kebalikan dari coalescence.  Kesulitannya terletak pada upaya yang harus dilakukan oleh si pembelajar untuk dengan sengaja membuat suatu pembedaan baru. Sebagai contoh bahasa Indonesia nsebagai bahasa pertama dan bahasa Arab sebagai bahasa kedua. Dalam bahasa Arab terdapat empat buah bunyi desis, yaitu sin, syin, tsa, dan shad, sedangkan dalam bahasa Indonesia hanya ada satu bunyi desis / s /, sehingga penutur bahasa Indonesia mengalami kesulitan melafalkan kata-kata yang berasal dari bahasa Arab yang mengandung keempat bunyi tersebut (Diah, tt : 4-6).

D. Hipotesis Garis Lunak
Menurut Wardaugh, sebagaimana dikutip Diah, versi garis keras seperti yang telah dibicarakan di atas, tidak realistik dan tidak praktis. Dikatakan Wardaugh bahwa para guru dan ahli bahasa telah memanfaatkan pengetahuan linguistik mereka untuk menjelaskan kesukaran yang ditemui dalam mempelajari B2. Pemanfaat ankon seperti ini, yakni sebagai posteriori explanation disebutkan sebagai versi lunak (moderat). Ketika si pembelajar mempelajari B2 tersebut dan kesalahan-kesalahan terjadi, para guru dapat menggunakan pengetahuan mereka tentang B1 si pembelajar dan B2 untuk memahami sumber-sumber kesalahan dimaksud. Interferensi merupakan salah satu penyebab kesalahan si pembelaajar. Namun menurut Lee (dikutip Baraja), interferensi B1 bukanlah satu-satunya penyebab kesalahan berbahasa si pembelajar. Faktor lain yang mempengaruhi kesalahan adalah 1) tingkat penguasaan bahasa yang dimiliki si pembelajar, 2) kejelasan dan ketepatan keterangan dan bimbingan yang diberikan guru, 3) faktor lingkungan si pembelajar termasuk di dalamnya penggunaan bahasa yang dijadikan model seperti penggunaan bahasa oleh para kelompok panutan masyarkat dan media masa (Diah, t : 6). 

E. Kelemahan Hipotesis Garis Keras

Hipotesis garis keras mempunyai beberapa kelemahan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Dulay, dkk (1982:97).
  1. Dalam penggunaan B2 baik oleh penutu anak-anak atau pun penutur dewasa, kebanyakan kesalahan gramatikal yang ditemui tidak mencerminkan pengaruh B1.
  2. Pembelajar B2 membuat kesalahan dalam bidang ketatabahasaan yang padahal antara B1 dan B2 terdapat kesejajaran, yakni kesalahan-kesalahan yang seharusnya tidak akan terjadi apabila ”transfer” (secara positif) memang berfungsi.
  3. Penilaian si pembelajar atas kebenaran kalimat-kalimat dalam B2 dari segi tatabahasa lebih terkait dengan tipe-tipe kalimat dalam B2 tersebut daripada dengan struktur B1-nya.
  4. Pengaruh B1 lebih banyak terlihat pada kesalahan-kesalahan fonologis ketimbang kesalahan-kesalahan gramatikal, walaupun banyak diantara kesalhan-kesalahan fonologis yang dibuat oleh penutur anak-anak mirip dengan kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh penutur B1 yang monolingual, dan sedikit sekali dari kesalahan-kesalahan fonologis yang terdapat dalam membaca yang dapat ditelusuri dari sisi B1 si pembelajar.

Daftar Pustaka

Diah, Muhammad. tt. Analisis Kesalahan (Bahan Kuliah). Palembang. Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya.
Dulay, Heidi,et.al. 1982. Language Two. New York: Oxford University.
Tarigan, Henry Guntur dan Djago Tarigan. 1980. Pengajaran Analisis Kesalahan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Saryono, Djoko. 1987. ”Urutan Pemerolehan Bahasa Kedua dan Implikasinya dalam Pengajaran Bahasa Kedua”. Dalam Nurhadi, Ed.Kapita Selekta Kajian Bahasa dan Sastra, dan Pengajarannya, Malang: IKIP Malang.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama